Fatwa DSN MUI no. 77 tahun 2010 tentang Murabahah Emas mengundang pertanyaan dan kajian. Untuk kajian fiqh, bisa didapatkan dari Abdul Wasik, Mas Habib dan Faishol. Sementara untuk kajian ekonomi, saya baru mendapatkannya dari Ali Sakti.

Pada artikel ini, saya akan lebih banyak membahas dari sisi ekonomi yang sesuai dengan latar belakang keilmuan saya. Ali Sakti tidak setuju dengan pendapat bahwa emas dan perak telah kehilangan fungsinya sebagai mata uang ( tsaman) sehingga boleh dijual secara tidak tunai, sebagaimana barang lainnya. Ia berpendapat bahwa walau emas bukan merupakan mata uang resmi yang dipakai oleh suatu negara, sehingga tidak dipakai sebagai alat tukar, secara de facto emas masih memiliki fungsi uang lainnya, yakni sebagai penyimpan nilai.

Kelemahan argumen ini adalah bahwa uang bukan satu-satunya benda yang bisa menyimpan nilai. Secara umum, benda yang bisa digunakan untuk menyimpan nilai disebut aset. Perbedaan uang dengan aset lainnya adalah uang merupakan satu-satunya aset yang bisa langsung digunakan dalam pertukaran dengan barang dan jasa lain. Sementara, aset non-uang harus dijual dulu untuk mendapat uang yang lalu digunakan untuk membeli barang dan jasa lain.

Jika Ali Sakti menggunakan karakteristik (‘illat) penyimpan nilai dari emas untuk memutuskan bahwa emas masih berstatus sebagai mata uang ( tsaman), walau tidak lagi bisa digunakan sebagai alat tukar, sehingga tidak bisa dijual secara kredit, maka konsekuensinya semua jenis aset juga berstatus tsaman dan tidak boleh dijual secara kredit.

Konsekuensi yang terlalu luas ini bisa dihindari jika ‘illat dibatasi pada penyimpan nilai yang bersifat tidak bisa hancur sendiri. Karakteristik ini dimiliki oleh semua jenis logam mulia, tidak hanya emas dan perak. Dengan demikian, platinum dan jenis-jenis logam mulia lainnya akan terkena hukum yang sama dengan emas dan perak.

Sementara, Imam Syafii mempertegas bahwa emas dan perak secara kebendaan sudah memiliki sifat sebagai tsaman, yang tidak dimiliki benda-benda lain. Sehingga, benda lain akan terkena hukum ribawi ketika menjadi mata uang, sementara emas dan perak tetap terkena hukum ribawi walaupun tidak menjadi mata uang.

Kesimpulan Imam Syafi’i ini sebenarnya masih membuka pertanyaan, mengapa hanya emas dan perak yang memiliki status tetap sebagai tsaman? Apakah ada karakteristik khusus pada emas dan perak yang membuat status tsaman-nya menetap? Salah satu kemungkinan karakteristik yang menetap di emas dan perak walau sudah tidak menjadi mata uang adalah keawetannya. Jika keawetan ini diterima sebagai illat, maka tidak lagi hanya emas dan perak yang memiliki status tetap sebagai tsaman, sebagaimana telah dibahas.

Saya sendiri cenderung berpendapat bahwa ‘illat tsaman tidak hanya terbatas pada emas dan perak, tapi semua jenis benda yang memiliki karakteristik mirip, yakni keawetan. Masyarakat sendiri dalam memilih jenis uangnya selalu mencari benda yang awet. Jika benda tidak awet dijadikan ukuran harga, maka perdagangan akan terhambat karena penjual bisa jadi meminta uang lebih dari harga yang diminta karena kualitas uang sudah memburuk.

Karena sifat keawetan ini menetap di kebendaan logam mulia, termasuk emas dan perak, bisa jadi ‘illat tsaman-nya masih berlaku walaupun keduanya sudah tidak lagi digunakan sebagai uang. Namun untuk lebih yakin, sebaiknya kita juga melihat hikmah di balik larangan pertukaran non kontan antara uang yang berbeda jenis. Detil kajian mengenai hikmah larangan ini sudah saya tuliskan di posting sebelumnya.

Pertukaran non kontan antara uang berbeda jenis dilarang karena perubahan nilai tukar antar waktu akan menghasilkan keuntungan di satu pihak dan kerugian di pihak lainnya. Hal ini juga terjadi dalam pembelian tempo emas. Jika harga emas naik di waktu pelunasan, maka pembeli dengan mudah mendapat untung, cukup dengan menjual emasnya ia sudah mampu melunasi utang dan masih menyisakan keuntungan. Keawetan emas, dan logam mulia lainnya, membuatnya bisa disimpan tanpa terjadi penurunan kualitas sehingga bisa dijual kembali dengan kualitas sama pada harga baru yang berlaku. Dampaknya, orang akan tergiur melakukan spekulasi dengan membeli emas secara kredit.

Sebaliknya, jika harga emas turun sementara orang yang membeli emas itu selama ini menyimpannya, ia harus membayar untuk emas tersebut lebih banyak dari harga berlaku. Tidak sebagaimana dalam penjualan tempo barang, kerugian dalam membeli tempo emas ini tidak dikompensasi oleh manfaat penggunaan emas karena emas batangan tidak memiliki manfaat konsumsi.

Dari analisis ekonomi terhadap ‘illat, saya menyimpulkan bahwa larangan riba fadl pada emas dan perak masih berlaku walau keduanya sudah tidak lagi menjadi uang karena kemungkinan ‘illat sebenarnya adalah sifat keawetan dari logam mulia ini. Pertukaran tempo antar mata uang cenderung menyebabkan kerugian di satu pihak tanpa kompensasi dan cenderung mendorong spekulasi. Karenanya, menurut saya pembiayaan murabahah pada emas batangan masih terkategori riba fadl.