<![CDATA[Catatan Ekonomi Said]]>https://catatan.msaidf.com/https://catatan.msaidf.com/favicon.pngCatatan Ekonomi Saidhttps://catatan.msaidf.com/Ghost 3.28Sat, 15 Aug 2020 17:56:53 GMT60<![CDATA[Mobilisasi: Solusi Ekonomi Masa Pandemi]]>Pembatasan sosial dilakukan untuk membendung pandemi selama vaksin dan obatnya belum ditemukan. Keterlambatan dan kelonggaran dalam melakukannya akan membuat wabah penyakit Corona ini makin menyebar tak terkendali. Korban jiwa dan ongkos sosial-ekonomi yang ditimbulkan wabah itu akan makin berlipat.

Sayangnya pemerintah pusat nampak ragu untuk mengambil langkah-langkah drastis dan melakukan

]]>
https://catatan.msaidf.com/mobilisasi-solusi-ekonomi-masa-pandemi/5f2a331fb8e3112e8b215399Mon, 13 Apr 2020 04:19:00 GMT

Pembatasan sosial dilakukan untuk membendung pandemi selama vaksin dan obatnya belum ditemukan. Keterlambatan dan kelonggaran dalam melakukannya akan membuat wabah penyakit Corona ini makin menyebar tak terkendali. Korban jiwa dan ongkos sosial-ekonomi yang ditimbulkan wabah itu akan makin berlipat.

Sayangnya pemerintah pusat nampak ragu untuk mengambil langkah-langkah drastis dan melakukan pembatasan secara ketat. Keraguan itu sepertinya datang dari ketakutan akan dampak ekonomi, serta efek dominonya ke sosial-politik. Padahal, baik melakukan pembatasan maupun tidak, sama-sama akan ada konsekuensi ekonominya.

Kebijakan jaga jarak yang sudah dijalankan di berbagai daerah memang sudah menunjukkan dampaknya pada ekonomi. Bisnis yang mengandalkan keramaian kini menjadi sepi atau terpaksa tutup sementara. Turunnya penjualan pada akhirnya akan memaksa mereka untuk tutup usaha atau paling tidak menghentikan sebagian pekerja mereka. Warga yang kehilangan penghasilan akan mengurangi konsumsi dan makin menyebarluaskan kesulitan ekonomi.

Keterlambatan pemerintah dalam mengantisipasi dampak ekonomi pada pekerja migran juga mendorong para migran itu untuk pulang kampung. Sebagian pemudik ini mungkin membawa virus Corona di tubuh mereka tanpa disadari, dan berpotensi menyebabkan ledakan wabah itu di kampung halaman. Padahal kampung halaman mereka jauh lebih tidak siap untuk menghadapi wabah daripada kota-kota tempat mereka bekerja.

Walau banyak sektor ekonomi yang menghadapi penurunan permintaan, sebagian sektor justru mengalami kenaikan permintaan yang sangat besar hingga tidak mampu dipenuhi oleh kapasitas yang ada. Hal ini paling kentara terjadi di sektor kesehatan. Pandemi yang tidak terbendung akan membutuhkan produksi layanan kesehatan dan segala produk pendukungnya yang berlipat-lipat dari kapasitasnya sekarang.

Pemerintah berusaha memenuhi sebagian kekurangan kapasitas layanan dan produksi ini dengan mengimpor peralatan medis dan mengkonversi bangunan milik pemerintah menjadi rumah sakit darurat. Akan tetapi, upaya itu mungkin hanya akan cukup memenuhi kebutuhan sementara. Ketika kebutuhan semakin membesar, impor pun akan terbentur pada keterbatasan produksi negara pengekspor. Banyak negara lain juga sedang menghadapi wabah Corona, dan semua memerlukan produk-produk yang sama seperti masker, alat tes, alat pelindung diri, dan ventilator.

Pemerintah tidak bisa terus mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan yang akan terus berlipat ini. Barang-barang kebutuhan tersebut harus bisa diproduksi sendiri di Indonesia, dalam jumlah besar, dan segera.

Sebenarnya tanpa arahan dari pemerintah pun, wirausaha bisnis dan sosial di Indonesia telah merespon kelangkaan produk-produk kesehatan itu dengan ikut memproduksi sebagian produk tersebut, baik dilandasi motif keuntungan ataupun kepedulian. Banyak pihak memproduksi masker dan alat pelindung diri karena melihat tenaga kesehatan di rumah-rumah sakit merawat pasien Corona dengan perlindungan seadanya.

Namun upaya-upaya individual itu masih belum cukup memenuhi kebutuhan. Kapasitas individu-individu yang berinisiatif itu terbatas, baik modal, peralatan, maupun pekerja.

Pemerintah bisa mengeskalasi produksi barang-barang ini dengan melakukan mobilisasi. Produsen-produsen tersebut bisa diberikan mesin-mesin tambahan dan pekerja sebanyak apapun yang mereka perlukan untuk memenuhi kebutuhan sektor kesehatan.

Mesin-mesin itu bisa pemerintah datangkan dari produsen domestik ataupun impor. Pemerintah bisa melakukan rekrutmen masal pekerja untuk mengerjakan segala macam keperluan pemerintah dalam menghadapi wabah Corona.

Pekerja hasil rekrutmen bukan hanya diperbantukan untuk memproduksi alat-alat tersebut, namun juga bisa menjadi tenaga bantuan di rumah-rumah sakit, pelaksana tes masal deteksi penyakit Corona, pemantau kesehatan warga yang positif penyakit Corona dan orang yang kontak dan mereka yang diisolasi di rumah, pengumpul data dan distribusi bantuan pemerintah ke warga miskin, dan banyak hal lainnya.

Rekrutmen masal ini sekaligus berfungsi untuk menyerap pengangguran baru yang tercipta dari penurunan permintaan di sektor lain. Jadi rekrutmen masal ini menjadi solusi untuk dua masalah sekaligus: masalah kekurangan pasokan di sektor kesehatan, dan masalah penurunan atau kehilangan penghasilan di sektor lain.

Mobilisasi bisa dilakukan bukan hanya pada pekerja, namun juga bisa pada bisnis. Hotel bisa dimobilisasi menjadi rumah sakit darurat dengan fasilitas yang lebih baik daripada bangunan seperti gedung pemerintah dan stadion. Hotel dan penginapan juga bisa digunakan untuk fasilitas penginapan tenaga kesehatan dan para pekerja yang dimobilisasi.

Restoran yang sepi bisa dimobilisasi untuk melayani kebutuhan makanan tenaga kesehatan dan pekerja tambahan hasil rekrutmen masal. Bisa pula makanan ini dibagikan gratis pada warga yang memerlukan. Maka mobilisasi restoran ini juga menjadi solusi untuk dua masalah: penurunan permintaan pada restoran, dan juga kesulitan ekonomi warga miskin.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah darimana dana untuk membiayai semua program mobilisasi tersebut? APBN bisa direlokasi sebesar-besarnya untuk membiayai mobilisasi ini. Tunda program-program pembangunan yang tidak mendesak. Dalam situasi pandemi, orang tidak butuh jalan tol dan kereta cepat. Memang orang sedang tidak dianjurkan bepergian.

Anggaran rapat-rapat dinas di luar kantor bisa dialihkan karena saat ini rapat juga banyak dilakukan secara online dalam rangka pencegahan wabah. Bahkan pengurangan anggaran rapat ini bisa jadi preseden baik bagi penganggaran tahun seterusnya.

Kalaupun semua pengalihan anggaran itu masih juga belum cukup, upaya terakhir adalah dengan menerbitkan surat utang sebanyak keperluan. Dalam situasi resesi ini, permintaan kredit turun karena bisnis menahan investasi di tengah ketidakpastian dan lesunya permintaan. Konsumen menahan belanja sehingga simpanan meningkat. Kelebihan likuiditas ini bisa diserap pemerintah untuk mendanai upaya-upaya mobilisasi di atas.

]]>
<![CDATA[Memutus Wabah, Menyelamatkan Ekonomi]]>Sudah lebih satu bulan berlalu sejak kebijakan pembatasan sosial dijalankan di berbagai daerah. Saat itu kebijakan itu belum secara resmi disebut sebagai pembatasan sosial skala besar (PSSB), seperti diatur di Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan, karena pemerintah baru mengumumkannya akhir bulan lalu (31/3).

Hasil dari pembatasan sosial itu tidak bisa diketahui

]]>
https://catatan.msaidf.com/memutus-wabah-menyelamatkan-ekonomi/5f2a31ecb8e3112e8b21538dMon, 13 Apr 2020 04:14:00 GMT

Sudah lebih satu bulan berlalu sejak kebijakan pembatasan sosial dijalankan di berbagai daerah. Saat itu kebijakan itu belum secara resmi disebut sebagai pembatasan sosial skala besar (PSSB), seperti diatur di Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan, karena pemerintah baru mengumumkannya akhir bulan lalu (31/3).

Hasil dari pembatasan sosial itu tidak bisa diketahui dengan pasti karena jumlah tes masih terlalu sedikit. Namun dengan masih banyaknya lalu lalang manusia, difasilitasi oleh jalan yang masih bebas untuk dilalui dan angkutan umum yang masih beroperasi, masih besar kemungkinan virus Corona itu masih terus berpindah antar manusia, dari satu tempat ke tempat lainnya.

Kebijakan pembatasan sosial yang selama ini sudah dilakukan, seperti peliburan sekolah, kerja dari rumah, dan aturan jaga jarak di tempat-tempat umum, paling jauh hanya bisa memperlambat penyebaran penyakit Corona, tapi tidak akan bisa menghentikannya.

Ketidakpastian Ekonomi

Masalahnya adalah sampai kapan keadaannya harus terus seperti ini. Tidak semua bisa menyesuaikan dengan situasi ini sebagai kenormalan baru. Penyesuaian masif tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat, dan selama transisi belum selesai akan banyak sektor terkontraksi, usaha gulung tikar, dan pengangguran baru tercipta.

Untuk kembali ke normalitas sebelumnya, butuh waktu berbulan-bulan untuk menanti hingga vaksin ditemukan dan didistribusikan. Para pedagang kecil, tukang becak, ojek, dan warung tidak bisa bertahan hidup dalam situasi tak menentu seperti ini selama berbulan-bulan. Mereka yang terdampak ini belum tentu ikut menerima bantuan pemerintah. Mungkin saat ini pun kehidupan mereka hanya ditopang utang dan bantuan orang lain.

Kesulitan ekonomi ditambah ketidakpastian akhir wabah membuat orang tidak bisa mengikuti anjuran untuk menetap di rumah. Walau semua orang sudah mengenakan masker ketika keluar rumah, mengikuti seruan terbaru pemerintah, bukan berarti aman untuk beraktivitas di luar rumah. Masker itu harusnya digunakan hanya untuk keperluan mendesak untuk keluar rumah. Pemenuhan kebutuhan keluarga juga merupakan aktivitas mendesak bagi sebagian orang, sehingga mereka ini hanya bisa dikurangi risiko penularan/tertular dengan mengenakan masker.

Pelaku usaha yang mengandalkan keramaian tetap saja tidak bisa kembali pada bisnis lama ketika keramaian memang belum kembali. Peralihan ke normalitas baru akan butuh waktu tidak sebentar, bahkan belum tentu selesai ketika wabahnya sendiri sudah berakhir.

Pendapatan yang hilang dan ketidakpastian menurunkan permintaan yang akan membawa ekonomi pada resesi dalam. Ekonomi tidak akan mudah kembali ke jalur awal ketika pendapatan dan belanja masyarakat sudah mencapai keseimbangan baru.

Memutus Total Penularan

Menghindari ketidakpastian dan terus berlarutnya wabah yang berisiko membawa ekonomi jatuh pada resesi yang dalam, pemerintah perlu menempuh upaya sebesar-besarnya untuk menghentikan wabah penyakit Corona dengan memutus penularan sepenuhnyal, bukan hanya memperlambatnya.

Caranya adalah dengan membuat semua orang tinggal di rumah dengan sukarela maupun paksa. Jalan dan angkutan umum perlu ditutup agar tidak ada lalu lalang manusia yang menjadikan penularan terus berlangsung. Hanya angkutan logistik yang dibiarkan berjalan tanpa hambatan.

Pembatasan ini bisa berlangsung dari 2-4 pekan, tergantung seberapa cepat kerja petugas dalam menguji dan melacak kontak warga yang terkonfirmasi positif. Waktu 2 pekan cukup untuk orang yang terinfeksi menunjukkan gejala. Jika mereka tidak menunjukkan gejala, maka harapannya paling tidak salah satu dari anggota rumah tangga yang tertular olehnya akan menunjukkan gejala sebelum pembatasan berakhir sehingga akan terdeteksi dan diuji.

Dengan pembatasan ketat seperti ini, orang yang sudah terinfeksi tidak lagi menulari orang tak dikenal yang sulit atau bahkan tidak mungkin dilacak. Pengidap Corona hanya akan menularkan virus kepada sesama anggota rumah tangga.

Jika salah satu anggota rumah tangga memiliki gejala yang mirip penyakit Corona, ia bisa dites beserta seluruh anggota rumah tangga lainnya dan orang lain yang mungkin tertular oleh mereka sebelum pembatasan ketat diberlakukan.

Dengan cara ini, upaya deteksi, tes, dan pelacakan bisa dilakukan tanpa ada proses penularan tak terlacak yang terus berjalan. Pembatasan akan memungkinan pelacakan dan deteksi seluruh kasus. Risiko kasus tak terdeteksi hanya terjadi jika seluruh anggota rumah tangga yang terinfeksi Covid-19 tidak ada yang menampakkan gejala.

Partisipasi masyarakat diperlukan untuk berinisiatif melaporkan diri jika ada anggota rumah tangga yang memiliki gejala. Disinsentif untuk menyembunyikan informasi bisa diberikan dengan dukungan pemeriksaan keliling yang bisa mendeteksi ketidakjujuran ini.

Bagi pekerja yang masih harus tetap bekerja karena mereka melayani hajat hidup orang banyak, mereka tidak boleh pulang pergi dari rumah ke tempat kerja. Mereka harus tinggal di tempat kerja atau area sekitarnya bersama rekan kerjanya.

Dengan demikian tidak ada risiko penularan dari tempat kerja ke rumah atau sebaliknya. Mekanismenya sama seperti menahan orang di rumah, yakni memutus rantai penularan dengan menjaga semua orang hanya berinteraksi dengan orang lain sedikit mungkin. Hanya saja karena mereka harus tetap bekerja, maka mereka dibatasi hanya bisa berinteraksi dengan sesama rekan kerja.

Bantuan Pangan

Selain pekerja di atas, tidak boleh ada lagi orang keluar rumah selain untuk keperluan darurat. Ketiadaan makanan di rumah termasuk alasan darurat yang mengharuskan orang untuk keluar rumah. Karenanya, pemerintah perlu memberikan bantuan pangan bagi warga yang kesulitan untuk memiliki persediaan pangan yang cukup selama masa pembatasan.

Dalam memberikan bantuan pangan ini, pemerintah perlu melonggarkan kriterianya. Jangan sampai ada warga yang butuh namun tidak mendapatkan bantuan karena kriteria yang terlalu ketat dan kaku. Kuota bantuan perlu dibuat berlebih untuk mengantisipasi permintaan bantuan yang sebelumnya tidak terdata.

Distribusi bantuan bisa memanfaatkan struktur pemerintahan dan kepemimpinan informal warga. Idealnya, pemberian bantuan diprioritaskan untuk warga yang paling kekurangan di wilayah itu. Namun jika pemrioritasan sulit dilakukan, bantuan bisa dibagi rata, dengan syarat warga akan saling bantu jika ternyata ada warga yang kekurangan pangan di masa pembatasan.

Pembatasan Antar Wilayah

Walaupun pembatasan tinggal di rumah bisa menghentikan penularan lokal, tiap saat penyakit virus Corona ini bisa dibawa masuk lagi oleh orang yang datang dari luar wilayah pembatasan. Karenanya upaya pembatasan arus keluar masuk wilayah perlu dilakukan tidak hanya selama pemberlakuan pembatasan tinggal di rumah, tapi juga setelahnya. Ijin masuk dan keluar bisa diberikan untuk wilayah lain yang juga sudah berhasil menghentikan wabah Corona.

Idealnya, semua wilayah di Indonesia menerapkan pembatasan ketat ini secara bersamaan. Kalaupun tidak bisa seluruh Indonesia, paling tidak waktu pembatasan ini perlu disamakan untuk wilayah yang berada pada satu pulau. Enam provinsi di pulau Jawa yang menjadi pusat wabah adalah wilayah yang paling mendesak untuk menerapkan segera pembatasan ketat ini.

]]>
<![CDATA[Menghapus Iuran BPJS]]>Pemerintah sedang mempertimbangkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan. Namun pemerintah menghadapi dilema, karena kenaikan iuran akan menghalangi mereka mencapai sasaran kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) minimal 95 persen di tahun 2019, sebagaimana digariskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Padahal, data April 2019 saja

]]>
https://catatan.msaidf.com/menghapus-iuran-bpjs/5f323b07ddcc1e05b0654588Thu, 11 Apr 2019 06:42:00 GMT

Pemerintah sedang mempertimbangkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan. Namun pemerintah menghadapi dilema, karena kenaikan iuran akan menghalangi mereka mencapai sasaran kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) minimal 95 persen di tahun 2019, sebagaimana digariskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Padahal, data April 2019 saja menunjukkan baru 219 juta, setara 83 persen, warga yang menjadi peserta JKN. Artinya, masih ada sekitar 47 juta warga yang tidak terlindungi oleh JKN. Di antara peserta saat ini pun, sekitar 19 juta peserta berstatus tidak aktif karena menunggak iuran.

Dilema antara defisit dan cakupan kepesertaan BPJS Kesehatan sebenarnya hanyalah gejala dari masalah sebenarnya pada desain jaminan sosial yang digariskan oleh Undang-undang nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dengan memberikan jaminan hanya pada peserta, yang diwajibkan membayar iuran, UU tersebut telah melanggar hak konstitusional rakyat untuk mendapatkan jaminan sosial.

Pemerintah memang telah berupaya membuka akses ke perlindungan dengan memberikan bantuan iuran JKN pada warga miskin. Akan tetapi, kenyataannya banyak warga miskin yang terkecualikan dari bantuan tersebut. Soewondo (2017) menemukan 49 persen dari warga termiskin, dengan konsumsi 35 persen terendah di tiap propinsi, masih belum mendapatkan bantuan iuran JKN dari pemerintah pusat.

Angka sebesar ini tidak bisa ditepiskan dan hanya dimaklumi sebagai kelemahan tak terhindarkan dari mekanisme targeting dalam distribusi manfaat program. Keterkecualian masif seperti ini mestinya bisa dihindari jika akses dan manfaat yang sama diberikan pada semua warga tanpa kecuali, yakni menerapkan universalisme, bukan targeting.

Pembiayaan dengan Pajak

Praktik jaminan sosial di berbagai negara di dunia ada yang dibiayai dengan iuran atau dengan pajak. Jerman menerapkan sistem jaminan sosial menggunakan iuran yang didasarkan pada pendapatan. Sementara, Inggris dan Swedia membiayai jaminan sosialnya dengan pajak.

Pembiayaan dengan pajak secara administratif berpotensi lebih efisien karena tidak perlu mengumpulkan iuran secara terpisah. Jika sistem iuran mengharuskan pemerintah menarik iuran dari sebagian besar penduduk Indonesia, mengapa tidak sekalian saja mengumpulkan pajak dari mereka?

Satu keberatan terhadap penggunaan pajak untuk membiayai jaminan sosial adalah besarnya sektor informal yang belum bisa dijangkau oleh pajak. Penggunaan pajak untuk membiayai jaminan sosial dikhawatirkan menjadi ketidakadilan bagi pekerja sektor formal karena harus sendirian menanggung seluruh beban sementara manfaatnya dinikmati semua. Dengan sistem iuran, semua yang menikmati manfaat perlindungan harus berpartisipasi dalam menanggung biaya jaminan sosial.

Akan tetapi, keberatan terhadap pembiayaan dari pajak di atas tidaklah tepat karena tiga alasan. Pertama, pendanaan jaminan sosial tidak harus bergantung hanya pada pajak penghasilan, yang selama ini memang hanya bisa menjangkau sektor formal. Untuk mendistribusikan beban ke masyarakat lebih luas, sebagian pendanaan jaminan sosial bisa diambil dari pajak lainnya, seperti pajak pertambahan nilai (PPN). Konsumen dari berbagai kalangan tidak terlepas dari beban PPN yang bisa dikumpulkan sejak dari hulu produksi.

Kedua, pemerintah sebenarnya telah mulai melebarkan jangkauan pajak ke sektor informal sejak tahun 2013, dengan aturan pengenaan pajak penghasilan final pada omset usaha kecil dan mikro. Masalah seberapa besar partisipasi sektor informal dalam pembayaran pajak ini tidak berbeda dengan masalah partisipasi kepesertaan dan pembayaran iuran dari sektor informal pada BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Terakhir, penggunaan pajak untuk membiayai jaminan sosial itu sendiri justru bisa meningkatkan partisipasi warga dalam membayar pajak. Warga merasakan manfaat secara individual dari pembayaran pajak mereka. Hal ini berlaku ketika program yang dibiayai pajak berlaku universal, bukan hanya kelompok tertentu yang menjadi target.

Manfaat pajak bagi jaminan sosial itu akan semakin kentara jika ada earmarking, yakni pengalokasian porsi khusus dari pajak tersebut untuk mendanai jaminan sosial. Dengan demikian pembayar pajak yakin bahwa pajak yang dibayarkan untuk manfaat jaminan sosial yang mereka nikmati, bukan untuk membiayai program lain yang belum tentu mereka ikut menikmati manfaatnya.

Ketidakadilan Sistem Iuran

Sistem iuran sendiri memiliki kelemahan selain inefisiensi kerja pengumpulan iuran yang bisa dihemat jika menggunakan pajak. Iuran jaminan sosial yang berlaku saat ini bersifat regresif, yakni masyarakat berpenghasilan tinggi justru menanggung beban iuran yang lebih ringan dibanding masyarakat berpenghasilan lebih rendah. Struktur tarif regresif ini tidak memenuhi asas keadilan vertikal.

Pola regresif ini paling kentara pada peserta mandiri, yang nilai iurannya ditetapkan pada nominal tertentu. Sementara bagi peserta pekerja penerima upah, walaupun besar iurannya ditetapkan sebagai persentase tertentu atas penghasilan, ada batas atas nominal (pagu) yang dibayarkan. Dengan demikian, setelah batas atas tersebut, rasio iuran dan penghasilan akan semakin menurun ketika penghasilan semakin tinggi.

Keadilan vertikal hanya ditemukan pada pemberian bantuan iuran bagi warga miskin. Walau demikian, kelemahan mekanisme targeting, yang membuat banyak warga miskin tidak ikut mendapatkan bantuan iuran, menciptakan situasi ketidakadilan horisontal.

Simpulan

Alasan besarnya sektor informal untuk tidak membiayai jaminan sosial dengan pajak telah tertolak. Sementara struktur iuran yang regresif dan banyaknya warga miskin yang luput dari bantuan iuran mengimplikasikan bahwa sistem iuran sekarang tidak bisa terus dipertahankan. Untuk memastikan seluruh rakyat terlindungi, jaminan sosial perlu direformasi dengan cara menghapuskan iuran dan menggantikannya dengan kombinasi pajak penghasilan dan pajak konsumsi yang lebih memenuhi keadilan.

]]>
<![CDATA[The Fed, Uang Panas, dan Kontrol Modal]]>https://catatan.msaidf.com/the-fed-uang-panas-dan-kontrol-modal/5f2a153ab8e3112e8b215355Sun, 29 Nov 2015 02:16:00 GMT

(Dimuat di kolom.tempo.co 29 November 2015)

Kabar baik untuk satu negara belum tentu menjadi kabar baik untuk negara lain. Demikianlah gambaran hubungan antara perekonomian besar, seperti Amerika Serikat, dan perekonomian yang lebih kecil, seperti Indonesia. Ekonomi Amerika telah menunjukkan kepulihan dari resesi besar yang mendera sejak 2008. Tingkat pengangguran telah kembali ke level sebelum krisis, mencapai 5 persen pada Oktober lalu. Pertumbuhan relatif stabil di kisaran 1,5–2,5 persen sejak 2010.

Namun pulihnya ekonomi Amerika juga berarti bahwa bank sentral mereka, Federal Reserve (The Fed), punya ruang untuk meningkatkan suku bunga guna mencegah penggelembungan harga aset.

Sejak tahun lalu, The Fed telah menyadari pembentukan gelembung di pasar obligasi yang memiliki rating kredit rendah. Gelembung juga dikhawatirkan akan kembali terjadi pada pasar perumahan, yang tingkat harganya sudah kembali ke level sebelum krisis 2008. Indeks pasar saham yang jauh lebih tinggi dari level sebelum krisis juga ada kemungkinan merupakan dampak dari kredit yang terlalu murah.

Jika The Fed menaikkan suku bunga, nilai tukar dolar akan menguat terhadap rupiah. Bahkan, penguatan dolar itu akan terjadi sebelum kebijakan itu diambil, sebagaimana yang terjadi pada Agustus-September lalu.

Meski demikian, masyarakat tidak perlu cemas bahwa kurs dolar akan naik tak terkendali, sehingga menyebabkan krisis, sebagaimana pada 1998. Pelaku pasar uang telah lama mengantisipasi kebijakan kenaikan suku bunga ini. Kurs dolar tidak akan lagi mengalami loncatan terlalu tinggi ketika nanti The Fed benar-benar mengumumkan kenaikan suku bunga tersebut.

Ketahanan ekonomi Indonesia telah dibuktikan di tengah resesi global 2008-saat itu kurs dolar sempat melonjak dari Rp 9.000-an hingga menembus Rp 12 ribu dalam jangka waktu sekitar dua bulan. Tapi pertumbuhan ekonomi tetap di atas 4 persen dan tingkat pengangguran masih terus menurun.

Sambil tetap optimistis menatap masa depan, kita perlu mengambil pelajaran dari pergerakan kurs dolar dan fenomena ekonomi yang menyertainya. Fenomena belakangan ini masih merupakan kelanjutan dari episode resesi global dan merupakan perpanjangan dari kebijakan anti-krisis Amerika.

Ketika The Fed memompakan triliunan dolar ke ekonomi Amerika untuk menurunkan suku bunga dalam merespons resesi 2008, banyak dari dolar ini berkelana ke berbagai negara mencari lahan-lahan investasi yang memberikan imbal hasil lebih tinggi. Dari situlah kita menyaksikan kurs dolar menurun, dari Rp 12 ribu pada 2009 menjadi Rp 8.500 pada pertengahan 2011.

Penguatan nilai tukar rupiah belum tentu merupakan berita gembira. Barang impor memang menjadi murah. Tapi, akibatnya, impor dari Cina meningkat pesat. Aliran besar modal masuk juga membawa konsekuensi meningkatnya arus keluar pembayaran imbalan atas modal tersebut.

Sebelum 2012, dua hal itu tidak menimbulkan masalah di neraca pembayaran karena devisa hasil ekspor masih mencukupi. Baru setelah ekspor turun pada 2012, karena Jepang mengalami pelambatan ekonomi, dua masalah di atas terlihat. Sejak saat itu, neraca berjalan terjun menjadi negatif dan kurs dolar kembali merangkak naik.

Dari sini kita dapat melihat bahwa arus modal yang masuk sejak resesi global justru menjadi bibit masalah bagi perekonomian Indonesia. Banyak pihak bersepakat bahwa arus investasi portofolio cenderung menciptakan destabilisasi. Tapi upaya mengerem arus investasi portofolio kerap ditentang dengan alasan dapat berimbas menurunkan investasi langsung, yang dapat membawa serta teknologi yang penting untuk mendorong pertumbuhan.

Alasan penolakan ini perlu dikritik karena belum tentu semua investasi langsung membawa masuk teknologi strategis. Nyatanya, pangsa ekspor berteknologi tinggi dari ekspor manufaktur justru terus mengalami penurunan sejak 2006 dan kondisi ini tidak berubah setelah investasi langsung meningkat tajam sejak 2010.

Bank Indonesia sebenarnya telah menerapkan beberapa disinsentif dan kendali untuk mengerem arus modal masuk sejak 2010. Langkah ini tampaknya sempat membuahkan hasil ketika arus investasi portofolio turun pada 2011. Tapi pada tahun-tahun berikutnya investasi portofolio kembali naik.

Tak tercapainya tujuan ini menunjukkan bahwa langkah yang diambil Bank Indonesia belum cukup. Atau, bisa jadi Bank Indonesia justru membiarkan arus modal itu kembali mengalir masuk untuk menutupi defisit neraca berjalan. Bagaimanapun, kurs dolar yang naik dan turun tajam pada Agustus-September lalu menjadi indikasi bahwa arus modal masih mudah berbalik arah.

Bank Indonesia sebaiknya tidak setengah-setengah menerapkan kontrol modal. Kontrol tersebut dapat dilonggarkan setelah aliran uang liar berkurang ketika The Fed menarik kembali uang stimulus mereka.

]]>
<![CDATA[Kajian Ekonomi Murabahah Emas]]>https://catatan.msaidf.com/kajian-ekonomi-murabahah-emas/5f2a18c3b8e3112e8b215370Fri, 03 Aug 2012 02:43:00 GMT

Fatwa DSN MUI no. 77 tahun 2010 tentang Murabahah Emas mengundang pertanyaan dan kajian. Untuk kajian fiqh, bisa didapatkan dari Abdul Wasik, Mas Habib dan Faishol. Sementara untuk kajian ekonomi, saya baru mendapatkannya dari Ali Sakti.

Pada artikel ini, saya akan lebih banyak membahas dari sisi ekonomi yang sesuai dengan latar belakang keilmuan saya. Ali Sakti tidak setuju dengan pendapat bahwa emas dan perak telah kehilangan fungsinya sebagai mata uang ( tsaman) sehingga boleh dijual secara tidak tunai, sebagaimana barang lainnya. Ia berpendapat bahwa walau emas bukan merupakan mata uang resmi yang dipakai oleh suatu negara, sehingga tidak dipakai sebagai alat tukar, secara de facto emas masih memiliki fungsi uang lainnya, yakni sebagai penyimpan nilai.

Kelemahan argumen ini adalah bahwa uang bukan satu-satunya benda yang bisa menyimpan nilai. Secara umum, benda yang bisa digunakan untuk menyimpan nilai disebut aset. Perbedaan uang dengan aset lainnya adalah uang merupakan satu-satunya aset yang bisa langsung digunakan dalam pertukaran dengan barang dan jasa lain. Sementara, aset non-uang harus dijual dulu untuk mendapat uang yang lalu digunakan untuk membeli barang dan jasa lain.

Jika Ali Sakti menggunakan karakteristik (‘illat) penyimpan nilai dari emas untuk memutuskan bahwa emas masih berstatus sebagai mata uang ( tsaman), walau tidak lagi bisa digunakan sebagai alat tukar, sehingga tidak bisa dijual secara kredit, maka konsekuensinya semua jenis aset juga berstatus tsaman dan tidak boleh dijual secara kredit.

Konsekuensi yang terlalu luas ini bisa dihindari jika ‘illat dibatasi pada penyimpan nilai yang bersifat tidak bisa hancur sendiri. Karakteristik ini dimiliki oleh semua jenis logam mulia, tidak hanya emas dan perak. Dengan demikian, platinum dan jenis-jenis logam mulia lainnya akan terkena hukum yang sama dengan emas dan perak.

Sementara, Imam Syafii mempertegas bahwa emas dan perak secara kebendaan sudah memiliki sifat sebagai tsaman, yang tidak dimiliki benda-benda lain. Sehingga, benda lain akan terkena hukum ribawi ketika menjadi mata uang, sementara emas dan perak tetap terkena hukum ribawi walaupun tidak menjadi mata uang.

Kesimpulan Imam Syafi’i ini sebenarnya masih membuka pertanyaan, mengapa hanya emas dan perak yang memiliki status tetap sebagai tsaman? Apakah ada karakteristik khusus pada emas dan perak yang membuat status tsaman-nya menetap? Salah satu kemungkinan karakteristik yang menetap di emas dan perak walau sudah tidak menjadi mata uang adalah keawetannya. Jika keawetan ini diterima sebagai illat, maka tidak lagi hanya emas dan perak yang memiliki status tetap sebagai tsaman, sebagaimana telah dibahas.

Saya sendiri cenderung berpendapat bahwa ‘illat tsaman tidak hanya terbatas pada emas dan perak, tapi semua jenis benda yang memiliki karakteristik mirip, yakni keawetan. Masyarakat sendiri dalam memilih jenis uangnya selalu mencari benda yang awet. Jika benda tidak awet dijadikan ukuran harga, maka perdagangan akan terhambat karena penjual bisa jadi meminta uang lebih dari harga yang diminta karena kualitas uang sudah memburuk.

Karena sifat keawetan ini menetap di kebendaan logam mulia, termasuk emas dan perak, bisa jadi ‘illat tsaman-nya masih berlaku walaupun keduanya sudah tidak lagi digunakan sebagai uang. Namun untuk lebih yakin, sebaiknya kita juga melihat hikmah di balik larangan pertukaran non kontan antara uang yang berbeda jenis. Detil kajian mengenai hikmah larangan ini sudah saya tuliskan di posting sebelumnya.

Pertukaran non kontan antara uang berbeda jenis dilarang karena perubahan nilai tukar antar waktu akan menghasilkan keuntungan di satu pihak dan kerugian di pihak lainnya. Hal ini juga terjadi dalam pembelian tempo emas. Jika harga emas naik di waktu pelunasan, maka pembeli dengan mudah mendapat untung, cukup dengan menjual emasnya ia sudah mampu melunasi utang dan masih menyisakan keuntungan. Keawetan emas, dan logam mulia lainnya, membuatnya bisa disimpan tanpa terjadi penurunan kualitas sehingga bisa dijual kembali dengan kualitas sama pada harga baru yang berlaku. Dampaknya, orang akan tergiur melakukan spekulasi dengan membeli emas secara kredit.

Sebaliknya, jika harga emas turun sementara orang yang membeli emas itu selama ini menyimpannya, ia harus membayar untuk emas tersebut lebih banyak dari harga berlaku. Tidak sebagaimana dalam penjualan tempo barang, kerugian dalam membeli tempo emas ini tidak dikompensasi oleh manfaat penggunaan emas karena emas batangan tidak memiliki manfaat konsumsi.

Dari analisis ekonomi terhadap ‘illat, saya menyimpulkan bahwa larangan riba fadl pada emas dan perak masih berlaku walau keduanya sudah tidak lagi menjadi uang karena kemungkinan ‘illat sebenarnya adalah sifat keawetan dari logam mulia ini. Pertukaran tempo antar mata uang cenderung menyebabkan kerugian di satu pihak tanpa kompensasi dan cenderung mendorong spekulasi. Karenanya, menurut saya pembiayaan murabahah pada emas batangan masih terkategori riba fadl.

]]>
<![CDATA[Mencari Pengganti Dolar]]>(Dimuat di Republika 16 Mei 2009)

Pemerintah mulai mengurangi ketergantungan pada dolar dan meragamkan mata uang basis transaksi internasional (Republika, 25/3). Harapannya, ekonomi domestik akan terhindar dari risiko ketidakstabilan mata uang basis transaksi. Kebijakan ini memiliki kelemahan, yakni berkurangnya fleksibilitas penggunaan devisa untuk keperluan transaksi dengan berbagai negara.

Pada

]]>
https://catatan.msaidf.com/mencari-pengganti-dolar/5f29b6edfd0723244d056841Fri, 15 May 2009 19:33:00 GMT

(Dimuat di Republika 16 Mei 2009)

Pemerintah mulai mengurangi ketergantungan pada dolar dan meragamkan mata uang basis transaksi internasional (Republika, 25/3). Harapannya, ekonomi domestik akan terhindar dari risiko ketidakstabilan mata uang basis transaksi. Kebijakan ini memiliki kelemahan, yakni berkurangnya fleksibilitas penggunaan devisa untuk keperluan transaksi dengan berbagai negara.

Pada dasarnya, uang berfungsi sebagai alat perantara pertukaran barang dan jasa. Barang apa pun bisa menjadi uang selama diterima oleh pihak-pihak yang bertransaksi. Pada skala individu, akan jauh lebih mudah bagi seseorang untuk menggunakan satu jenis uang saja yang diterima oleh semua mitra transaksinya.

Hal sama berlaku pada skala makro. Negara-negara mudah untuk saling bertransaksi jika mereka memiliki satu alat pembayaran yang disepakati. Karena itu, kita dapat melihat, sepanjang sejarah, negara-negara selalu memiliki satu mata uang yang diterima oleh semua.

Banyaknya ragam mata uang transaksi berpotensi menghambat perdagangan dan transaksi internasional lainnya. Dapat terjadi ketidaksesuaian di pasar antara mata uang yang kelebihan penawaran dan mata uang yang kelebihan permintaan.

Mata uang negara yang neraca perdagangannya defisit cenderung kelebihan permintaan. Sebaliknya, mata uang yang neraca perdagangannya positif cenderung kelebihan pasokan.

Dalam sistem alat pembayaran internasional tunggal, defisit kita dengan suatu negara dapat dibayar dengan surplus kita dari negara lain. Jika pemerintah jadi mengadopsi rencana peragaman mata uang, transaksi internasional dan pertumbuhan ekonomi akan terhambat.

Namun, mata uang tunggal tidak bisa memfasilitasi perdagangan dengan baik jika nilainya tidak menentu. Dolar kini sulit diandalkan kestabilannya karena situasi dan kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS) masih tidak menentu. Dulu, dolar menguat karena penarikan dana lembaga-lembaga keuangan asing. Ke depan, dolar cenderung melemah dengan adanya penerbitan baru dolar dalam jumlah besar untuk membiayai defisit anggaran AS.

Banyak negara mulai mengalihkan devisanya ke euro. Untuk saat ini, euro mungkin pilihan yang lebih baik daripada dolar. Tetapi, suatu saat, krisis ekonomi juga bisa melanda Uni Eropa.

Apakah kita cukup sekadar mengganti mata uang basis transaksi internasional setiap kali negara penerbit mata uang tersebut mengalami krisis? Penggantian mata uang internasional bukannya tanpa biaya.

Pada saat konversi terjadi, mata uang lama akan terdepresiasi karena pasokannya membludak tiba-tiba. Sebaliknya, mata uang baru akan terapresiasi karena permintaan meningkat pesat. Negara yang telah menumpukkan cadangan devisa dalam mata uang lama akan rugi karena nilainya turun jika diukur dengan mata uang baru.

Mata uang internasional

Dolar AS disepakati menjadi mata uang internasional pada konferensi Bretton Woods di bulan Juli 1944. Pemilihan dolar AS merupakan pertengahan antara sistem nilai tukar mengambang yang penuh ketidakpastian dan menghambat perdagangan internasional dengan standar emas yang terlalu restriktif.

Pada sistem ini, negara-negara sepakat untuk mematok nilai tukar mata uangnya terhadap dolar AS. Di sisi lain, Amerika Serikat menjamin konvertibilitas dolar terhadap emas yang waktu itu pada level 35 dolar AS per ons emas.

Robert Triffin (1960) menangkap dilema yang dihadapi oleh AS dengan sistem ini. Ia berpendapat bahwa mata uang suatu negara tidak dapat bertahan sebagai alat pembayaran internasional.

AS harus terus mengalami defisit neraca perdagangan untuk memenuhi kebutuhan dolar masyarakat internasional. Di sisi lain, meningkatnya pasokan dolar di luar negeri melemahkan nilai tukar dolar AS terhadap emas di negara lain. Selisih ini mendorong arus keluarnya emas besar-besaran dari AS.

Pada Agustus 1971, Pemerintah AS di bawah presiden Nixon menghentikan konvertibilitas dolar terhadap emas. Akibatnya, nilai tukar dolar terhadap emas dan komoditas lain merosot. Negara lain terpaksa memutuskan patokan nilai tukar mata uang mereka ke dolar untuk mencegah penularan inflasi AS ke perekonomian domestik. Sejak saat itu, sistem nilai tukar dunia kembali ke rezim mengambang.

Walau sudah tidak lagi menjadi patokan, dolar AS tetap menjadi mata uang utama transaksi internasional dan komponen mayoritas cadangan devisa semua negara. Hal ini disebabkan transaksi internasional sudah terbiasa dinilai dan dibayar dengan dolar. Selain itu, dengan skala ekonominya yang besar, AS masih menjadi mitra dagang utama sebagian besar negara.

Krisis AS saat ini mengurangi kemenarikan dolar sebagai mata uang internasional. Nilai tukar dolar AS terus berfluktuasi mengikuti perkembangan situasi krisis dan upaya pemulihannya.

Kembali ke emas

Selama berabad-abad, negara-negara di dunia saling bertransaksi dengan menggunakan emas sebagai alat pembayaran. Sekalipun menggunakan uang kertas, pemerintah negara penerbitnya menjamin uang kertas tersebut dapat ditukarkan dengan emas.

Sepanjang sejarah penerapan standar emas, inflasi tinggi jarang terjadi. Inflasi terjadi hanya sewaktu ditemukan sumber emas baru. Secara umum, tingkat produksi emas stabil sehingga jarang terjadi kejutan harga.

Penentangan pada standar emas datang dari ekonom penganjur intervensi pemerintah, terutama dari aliran Keynesian. Menurut mereka, standar emas membatasi ruang gerak pemerintah dalam melakukan intervensi. Terutama, dalam situasi resesi, pemerintah perlu mendorong permintaan dengan memasok lebih banyak uang. Mereka juga mengajukan fakta bahwa negara yang lebih dulu meninggalkan standar emas mengalami pemulihan dari depresi besar dengan lebih cepat daripada negara yang belakangan meninggalkan standar emas.

Ekonom Austrian, dengan tokoh utama Mises dan Hayek, memandang sebab depresi besar dari sisi berbeda. Mereka berpendapat bahwa depresi besar merupakan konsekuensi siklus yang tak terhindarkan setelah ekspansi moneter besar sepanjang Perang Dunia I. Mereka justru menganjurkan kembali ke standar emas untuk mencegah pemerintah mencetak uang tanpa kendali.

Alternatif lain

Keynes sendiri memiliki usulan alternatif mata uang internasional yang disebut dengan bancor. Bancor merupakan mata uang internasional yang nilainya ditetapkan dalam 30 macam komoditas, termasuk emas. Dengan demikian, harga komoditas-komoditas tersebut dalam satuan bancor akan stabil. Usulan Keynes ini tidak pernah direalisasikan sehingga kita tidak bisa mengevaluasi keberhasilannya.

Dalam pidatonya pada 23 Maret lalu, Gubernur Bank Rakyat China, Zhou Xiaochuan, menyebutkan, gagasan bancor dari Keynes ini berpandangan jauh ke depan. Mengadopsi gagasan bancor, Zhou mengusulkan pengadopsian Special Drawing Right (SDR) IMF sebagai mata uang internasional. Ia berargumen, karena SDR tidak diterbitkan oleh satu negara, mata uang ini akan terhindar dari dilema Triffin.

Emas dan bancor ala Keynes atau Zhou sama-sama terhindar dari dilema Triffin. Bancor memiliki keunggulan fleksibilitas pasokan dibandingkan emas. Akan tetapi, produksi bancor yang teregulasi akan tetap menghadapi risiko digunakan untuk kepentingan pihak yang berkuasa.

Pada akhirnya, pemilihan mata uang internasional tidak dapat menjadi keputusan sepihak satu negara. Penetapan mata uang internasional harus melalui koordinasi dan kesepakatan antarnegara. Pemerintah Indonesia perlu memanfaatkan forum G20 untuk mengusulkan penataan ulang sistem moneter internasional. Satu hal yang pasti, Indonesia telah memiliki banyak pengalaman buruk dengan dolar.

]]>